Minggu, 28 Agustus 2011

SIMULASI RUKYAT GLOBAL (INTERNASIONAL) - APAKAH MUNGKIN SHOLAT IED DI HARI YANG SAMA ?

Oleh : Ust. Fahmi Amhar

Menjawab keraguan sebagian kalangan, karena di dunia ini 24 (atau bahkan maximum 26 daerah waktu) sehingga di dunia setiap saat selalu ada 2 hari. oke kita simulasikan begini: ada 6 kota: Samoa (di extrim Barat, GMT-11), New York (GMT-5), London (GMT+0), Makkah (GMT+3), Jakarta (GMT+7), dan Tonga (extrim timur, GMT+13 -- bukan GMT+12).

Asumsikan "Ahad sore" (tanggalnya terserah, yang jelas 29 Ramadhan) mereka rukyat. Pasti yang rukyat duluan adalah Tonga. Baru 24 jam kemudian - kalau dibilang "Ahad sore" - adalah Samoa.

Kalau katakan di Tonga Ahad pukul 18 rukyat, dan hilal kelihatan.Peristiwa ini diikuti secara on-line.Tonga mengatakan "besok" (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri.

Maka:

- di Jakarta masih Ahad pukul 12 siang; "besok" adalah Senin.
- di Makkah masih Ahad pukul 8 pagi; "besok" adalah Senin.
- di London masih Ahad pukul 5 pagi; "besok" adalah Senin.
- di NewYork masih Sabtu pukul 24 atau Ahad pukul 0 pagi; meski masih malam, tapi karena ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi "besok" juga Senin.
- di Samoa masih Sabtu pukul 18 sore, sama maghribnya dengan Tonga, tetapi ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi "besok" juga Senin.

Jadi rukyat global di Tonga akan menjadikan Sholat Ied di seluruh dunia sama-sama Senin.


Sekarang katakanlah di 5 kota dari Tonga hinga New York hilal tertutup awan, sehingga Ahad sore hilal tidak dapat terlihat, meski secara astronomi sudah di atas ufuk, dan itsbat memutuskan Ramadhan istikmal. Tetapi di Samoa hilal terlihat pada Ahad pukul 18 sore (29 Ramadhan), dan diumumkan "besok" (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri. Maka:

- di Tonga sudah Senin pukul 18 sore; sudah sama-sama Maghrib tapi hari Senin sudah selesai, sehingga "besok" adalah Selasa; bisa saja yang tadi sudah dilalui dan sudah dianggap tgl 30 Ramadhan dicancel dan dianggap 1 Syawal, agar kelanjutan hari kembali konsisten (Selasa 2 Syawal). Tetapi yang jelas, perayaan Iedul Fitri tidak bisa pada hari Senin yang sama.
- di Jakarta sudah Senin pukul 12 siang; bisa saja istikmal dicancel, tetapi sudah tidak mungkin sholat Ied lagi, jadi Senin ini sudah 1 Syawal, tetapi sholat Ied-nya baru besok
- di Makkah sudah Senin pukul 8 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin pagi ini juga lebaran.
- di London sudah Senin pukul 5 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin ini juga Lebaran.
- di New York masih Ahad pukul 24 atau Senin pukul 0 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel; jadi "besok" Senin Lebaran.

Jadi rukyat global di Samoa ternyata TIDAK BISA membuat hari sholat Ied di seluruh dunia sama; tetapi akan 2 hari yaitu Senin dan Selasa, lepas soal cancelling istikmal 30 Ramadhan.


Bagaimana kalau kita ambil kota di tengah yang rukyat? katakanlah dari Tonga sampai Mekkah gagal merukyat karena cuaca, tetapi London berhasil pada Ahad sore pukul 18 waktu London, maka:

- di Tonga sudah Senin pukul 7 pagi; istikmal dicancel, jadinya Senin ini juga lebaran.
- di Jakarta sudah Senin pukul 1 pagi; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.
- di Makkah masih Ahad pukul 21; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.
- di New York masih Ahad pukul 13; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.
- di Samoa masih Ahad pukul 7 pagi; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.

Jadi rukyat global di London masih bisa menjaga kesamaan hari lebaran.



KESIMPULAN

Yang paling crucial memang bila rukyat yang berhasil adalah yang di "pojok barat" daerah penanggalan kita, yaitu Samoa.


PERSOALAN YANG ADA SELAMA INI BELUM SEJAUH ITU.


YANG SERING TERJADI ADALAH KLAIM RUKYAT YANG SECARA SAINTIFIK TIDAK VALID, MISALNYA TERKADANG ADA KLAIM RUKYAT PADAHAL BELUM IJTIMA' ATAU TINGGI BULAN MASIH NEGATIF. MESKI TIDAK ADA FOTONYA, DAN ADA BESAR POTENSI KEKELIRUAN, NAMUN SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MASIH KEBERATAN UNTUK MENOLAK RUKYAT SEMACAM INI. SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MENGANGGAP "MENOLAK RUKYAT DENGAN ALASAN ASTRONOMIS" ADALAH TIDAK SYAR'I. ALASANNYA, KARENA ASTRONOMI DIANGGAP BUKAN SESUATU YANG PASTI SEHINGGA BISA MEMBATALKAN KESAKSIAN. MEREKA BERPANDANGAN PENDAPAT PARA AHLI ASTRONOMI SUKA BERBEDA-BEDA, INI -MENURUT MEREKA- MEMBUKTIKAN ASTRONOMI TIDAK PASTI.

PADAHAL, DALAM MASALAH MENGHITUNG KAPAN IJTIMA' ATAU TINGGI HILAL, PARA PAKAR ASTRONOMI TELAH SEPAKAT. YANG BERBEDA-BEDA ADALAH PERISTIWA ASTRONOMIS YANG MANA YANG DAPAT DIANGGAP SEBAGAI PERALIHAN TANGGAL HIJRIYAH, APAKAH IJTIMA'? APAKAH WUJUDUL HILAL? APAKAH IMKAN 2 DERAJAT? APAKAH IMKAN 5 DERAJAT? DSB.
JADI BUKAN PADA MENGHITUNGNYA ITU SENDIRI.

SAYA SENDIRI BERPENDAPAT, UNTUK PEMBUATAN KALENDER, TIDAK USAH PAKAI HISAB ASTRONOMI. PASTI HASILNYA AKAN BEDA-BEDA KARENA TERGANTUNG KOORDINAT LOKASI YANG DIHITUNG. KITA KEMBALI SAJA KE KALENDER URFIAH YANG SUDAH DIPAKAI DI ZAMAN NABI. TERUS RUKYAT HANYA KITA KERJAKAN PADA 29 SYA'BAN/29 RAMADHAN. 1 SYA'BANNYA SENDIRI TIDAK USAH DIRUKYAT, KARENA TIDAK ADA PERINTAHNYA.

WALLLAHU A'LAM

Sumber : http://www.facebook.com/notes/fahmi-amhar/simulasi-rukyat-global-apakah-mungkin-sholat-ied-di-hari-yang-sama/10150267612976921

KRITIK ATAS KONSEP MATHLA DALAM PENENTUAN AWAL AKHIR RAMADHAN

Mengenai perbedaan mathla’, yaitu tempat/waktu terbitnya hilal yang digunakan untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan, hal itu merupakan manath (fakta untuk penerapan hukum) yang telah dikaji oleh para ulama terdahulu. Fakta saat itu, kaum muslimin memang tidak dapat menginformasikan berita rukyatul hilal ke seluruh penjuru wilayah negara Khilafah Islamiyah yang amat luas dalam satu hari, karena sarana komunikasi yang terbatas.

Namun, kini fakta telah berubah. Malahan bila konsep terbitnya bulan (mathla) digunakan penentuan awal dan akhir Ramadhan pada suatu daerah menjadi tidak logis. Dalam konsep mathla’, setiap daerah yang berjarak 16 farsakh atau 120 km memiliki mathla’ sendiri. Artinya, penduduk Banjarmasin dan sekitarnya dalam radius 120 km hanya terikat dengan rukyat yang dilakukan daerah sekitar itu saja, tanpa terikat dengan hasil rukyat di Samarinda atau daerah yang jaraknya lebih dari 120 km dan seterusnya. Dengan konsep mathla', wilayah Indonesia yang jarak ujung Barat hingga ujung Timur sekitar 5200 km itu akan terbagi menjadi 43 mathla'.

Kritik atas Mathla’

Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). Ulama Syafi’iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 4 farsakh dari pusat ru’yat bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yat sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain. Mereka menyandarkan alasan mereka dengan riwayat dari Kuraib, Diriwayatkan dari Kuraib bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibn ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilan-gan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami’.”[9]

Hadits ini mereka gunakan sandaran keabsahan mathla’. Padahal bila kita meneliti lebih lanjut pendapat para penganut mathla’, kita akan dapatkan sesungguhnya pendapat mereka adalah lemah.

Pertama, sebenarnya dalil yang mereka gunakan adalah ijtihad Ibn ‘Abbas, bukan hadits yang diriwayatkan secara marfu’. Walaupun hadits itu secara lafadziyyah seakan-akan menunjukkan marfu’, yakni perkataan Ibn ‘Abbas, “Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami”, namun bila kita bandingkan riwayat-riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas sendiri, maka terlihatlah bahwa perkataan Ibn ‘Abbas itu adalah hasil ijtihad beliau sendiri. Ibn ‘Abbas sendiri banyak meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat dari Kuraib di atas. Semisal riwayat dari Ibn ‘Abbas dari Nabi Saw:

“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”[10]

Atas dasar itu, hadits dari Kuraib adalah ijtihad pribadi Ibn ‘Abbas. Ijtihad shahabat tidak layak digunakan dalil untuk menetapkan hukum.[11]

Kedua, hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithab (seruannya) berlaku bagi seluruh kaum muslimin. Kata shûmû liru’yatihi adalah lafadz umum. Artinya, bila satu daerah telah melihat bulan, maka wilayah yang lain harus berpuasa karena hasil ru’yat daerah tersebut. Imam asy-Syaukani menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitab (pembicaraan) yang tertuju kepada siapa saja di antara kaum muslimin yang khitab itu telah sampai kepadanya. ‘Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum muslimin telah melihatnya. Ru’yat penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum muslimin lainnya’.”

Imam asy-Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain.”[12]

Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Saw, “Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yat itu berlaku bagi mereka semuanya.[13] Dikisahkan juga ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi Saw bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’nya berbeda atau tidak.[14]

Imam ash-Shan’ani berkata, “Makna dari ucapan ‘karena melihatnya’ yaitu apabila ru’yat didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yat pada suatu negeri adalah ru’yat bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.”[15]

Imam al-Mashfaqi menyatakan dalam kitabnya bahwa, “Perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Demikian pula melihat sabit disiang hari, sebelum dhuhur atau menjelang dhuhur. Dalam hal tersebut, penduduk negeri Timur Madinah harus mengikuti ru’yat kaum muslimin yang ada di belahan Barat Madinah apabila ru’yat mereka dapat diterima (sah menurut syara’).”[16]

Shiddiq Hasan Khan berkata, “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu ‘karena melihat hilal dan berbuka karena hilal’ (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yat itu untuk semuanya…”[17]

Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, dimana beliau berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yat tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar sholat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar sholat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.”[18]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz tatkala ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda, beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yat dan tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Saw memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yat dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi Saw tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu.[19]

Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya berkata, “Maka apabila melihat hilal ramadhan atau hilal syawal telah tetap melalui syara’, maka terikatlah kaum muslimin. Ya semua, dengan ru’yat ini dalam puasa dan hari raya mereka, tidak ada perbedaan antara satu negeri dan negeri yang lain…”[20]

Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya menetapkan keabsahan metode ru’yat dan kelemahan metode hisab karena tidak didukung oleh dalil-dalil syar’i, berdasarkan fatwa-fatwa para fuqoha seperti Imam Hanafi, Maliki dan Hambali.[21]

Ketiga, riwayat Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar itu, ia tidak bisa digunakan sebagai dalil atau apa pun untuk mentakhsis (mengkhususkan) keumuman lafadz yang terdapat dalam hadist shûmû liru’yatihi. Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syara’ harus dalil syara’ pula. Sehingga, hadist-hadist tersebut tetap dalam keumumannya. Sebagaimana kaidah ushul: al-‘âm yabqa fi ‘umûmihi ma lam yarid dalil at-takhsish (sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).[22]

Seandainya riwayat Kuraib tersebut absah digunakan sebagai dalil (hadits marfu’), maka berpegang kepada hadits yang diucapkan oleh Rasulullah Saw secara langsung (qâla Rasulullah Saw) lebih kuat dibandingkan dengan hadits yang dikatakan oleh seorang shahabat (misalnya, qâla Ibn ‘Abbas). Imam al-Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati kemarfu’annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan kemarfu’annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.”[23]

Keempat, penolakan Ibn ‘Abbas ra terhadap ru’yatnya Mu’awiyyah bisa dipahami, bahwa arus informasi ru’yat saat itu memang tidak cepat tersiar ke negeri-negeri kaum Muslim yang lain. Ini bisa dimengerti karena, alat-alat transportasi dan telekomunikasi pada saat itu sangat terbatas dan lambat. Akibatnya, informasi ru’yat di satu daerah kadang-kadang baru sampai sehari atau lebih. Melihat kondisi ini, Rasulullah Saw dan para shahabat membiarkan daerah-daerah yang jauh untuk tidak terikat dengan hasil ru’yat penduduk Madinah maupun Makkah, maupun negeri-negeri yang lain, dikarenakan halangan-halangan jarak. Imam asy-Sya’rani menuturkan, “Para shahabat ra tidak memerintahkan suatu negeri untuk mengikuti hasil ru’yat penduduk Madinah, Syam, Mesir, Maghrib, dan sebagainya.”[24] Barangkali pendapat mereka disandarkan pada sebuah riwayat yang menuturkan bahwasanya penduduk Nejed telah memberitahu kepada Rasulullah Saw, bahwa ru’yat mereka lebih awal satu hari dibandingkan dengan ru’yat penduduk Madinah. Lalu, Nabi Saw bersabda:

“Setiap penduduk negeri terikat dengan ru’yat mereka sendiri-sendiri.”[25].

Hanya saja, hadits ini sama sekali tidak menunjukkan, bolehnya kaum Muslim bersikukuh dengan ru’yat masing-masing, atau untuk membenarkan mathla’. Hadits ini hanya merupakan solusi (pemecahan) yang diberikan oleh Rasulullah Saw tatkala kaum Muslim menghadapi kendali waktu dan jarak saat itu. Sebab, hadits-hadits yang lain justru menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw membatalkan puasanya karena mendengar informasi ru’yat dari negeri lain; misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Lima.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabbiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yat bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan, “…Saya —demi Allah— tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibn Taimiyyah, di dalam al-Fatawa jilid 25, asy-Syaukani dalam Nailul Authar, Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudhah an-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibn ‘Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibn ‘Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru’yat negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibn ‘Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yat hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah di dalam al-Fatawa 75/104…”[26]

Kelima, selain itu ijtihad Abdullah Ibn ‘Abbas ra di atas bertentangan dengan makna yang sharih (eksplisit) hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor, “Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi Saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah Saw memerintahkan mereka (kaum Muslimin) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat Ied pada keesokan harinya.”[27]

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kaum muslimin untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yatul hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Kebolehan mathla’ juga akan bertentangan dengan riwayat Ibn ‘Abbas sendiri:

“Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad Saw kemudian berkata, ‘Sungguh saya telah melihat hilal.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah Anda bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya.’ Lalu Rasulullah bersabda, ‘Wahai Bilal umumkan kepada manusia (masyarakat) agar mereka berpuasa besok’.”[28]
Keenam, perbedaan mathla’ secara ‘aqli pun akan sangat janggal. Daerah yang terletak dalam satu bujur harusnya bisa memulai dalam waktu yang sama. Sebab, daerah yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda atau berselisih waktu. Namun, faktanya dengan adanya negara-negara bangsa, daerah-daerah yang terletak satu bujur memulai puasa tidaklah serentak, padahal secara astronomi harusnya bisa memulai puasa secara bersamaan. Selain itu, daerah yang terletak beda bujur, selisih waktu terjauh tidak sampai sehari. Jika demikian, tidak mungkin ada selisih waktu lebih dari sehari. Adanya mathla’ memungkin suatu daerah berbeda dengan daerah lain, meskipun secara astronomi harusnya tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat dalam memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan. Kenyataan seperti ini mengharuskan kita meninggalkan mathla’.

Ketujuh, dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan ummat Islam seluruh dunia, kaum muslimin akan lebih arif memilih pendapat untuk serentak melakukan puasa Ramadhan di seluruh dunia. Harapannya, langkah semacam ini merupakan titik awal menuju persatuan ummat Islam seluruh dunia.

Dalam sejarah pernah dituturkan, bahwa para khalifah dari Dinasti ‘Utsmaniyyah telah mengadopsi pendapat madzhab Hanafi yang menyatakan, “Perbedaan mathla’ tidak diakui. Penduduk timur wajib terikat dengan hasil ru’yat penduduk barat, jika ru’yat berhasil mereka tetapkan berdasarkan cara-cara yang telah ditentukan.”[29]



________________________________________________________________

“Sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”
Jika ikhwan wa akhwat fiLLAH meyakini adanya kebenaran di dalam tulisan dan fans page ini, serta ingin meraih amal shaleh, maka sampaikanlah kepada saudaramu yang lain. Bagikan (share) tulisan/gambar ini kepada teman-teman facebook yang lain dan mohon bantuannya untuk mengajak teman-teman anda sebanyak mungkin di KOMUNITAS RINDU SYARIAH & KHILAFAH, agar syiar kebaikan dapat LEBIH TERSEBAR LUAS DI BUMI INI....

fans page KOMUNITAS RINDU SYARIAH & KHILAFAH
http://www.facebook.com/SyariahKhilafah

Senin, 18 Juli 2011

JUAL BELI SAHAM DALAM PANDANGAN ISLAM

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Pengantar

Ketika kaum muslimin hidup dalam naungan sistem Khilafah, berbagai muamalah mereka selalu berada dalam timbangan syariah (halal-haram). Khalifah Umar bin Khaththab misalnya, tidak mengizinkan pedagang manapun masuk ke pasar kaum muslimin kecuali jika dia telah memahami hukum-hukum muamalah. Tujuannya tiada lain agar pedagang itu tidak terjerumus ke dalam dosa riba. (As-Salus, Mausu'ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu'ashirah, h. 461).

Namun ketika Khilafah hancur tahun 1924, kondisi berubah total. Kaum muslimin makin terjerumus dalam sistem ekonomi yang dipaksakan penjajah kafir, yakni sistem kapitalisme yang memang tidak mengenal halal-haram. Ini karena akar sistem kapitalisme adalah paham sekularisme yang menyingkirkan agama sebagai pengatur kehidupan publik, termasuk kehidupan ekonomi. Walhasil, seperti kata As-Salus, kaum muslimin akhirnya hidup dalam sistem ekonomi yang jauh dari Islam (ba’idan ‘an al-Islam), seperti sistem perbankan dan pasar modal (burshah al-awraq al-maliyah) (ibid., h. 464). Tulisan ini bertujuan menjelaskan fakta dan hukum seputar saham dan pasar modal dalam tinjauan fikih Islam.

Fakta Saham

Saham bukan fakta yang berdiri sendiri, namun terkait pasar modal sebagai tempat perdagangannya dan juga terkait perusahaan publik (perseroan terbatas/PT) sebagai pihak yang menerbitkannya. Saham merupakan salah satu instrumen pasar modal (stock market).

Dalam pasar modal, instrumen yang diperdagangkan adalah surat-surat berharga (securities) seperti saham dan obligasi, serta berbagai instrumen turunannya (derivatif) yaitu opsi, right, waran, dan reksa dana. Surat-surat berharga yang dapat diperdagangkan inilah yang disebut "efek" (Hasan, 1996).

Saham adalah surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan yang menerbitkan saham tersebut. Dalam Keppres RI No. 60 tahun 1988 tentang Pasar Modal, saham didefinisikan sebagai "surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Staatbald No. 23 Tahun 1847)." (Junaedi, 1990). Sedangkan obligasi (bonds, as-sanadat) adalah bukti pengakuan utang dari perusahaan (emiten) kepada para pemegang obligasi yang bersangkutan (Siahaan & Manurung, 2006).

Selain terkait pasar modal, saham juga terkait PT (perseroan terbatas, limited company) sebagai pihak yang menerbitkannya. Dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas pasal 1 ayat 1, perseroan terbatas didefinisikan sebagai "badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham," Modal dasar yang dimaksud, terdiri atas seluruh nilai nominal saham (ibid., pasal 24 ayat 1).

Definisi lain menyebutkan, perseroan terbatas adalah badan usaha yang mempunyai kekayaan, hak, serta kewajiban sendiri, yang terpisah dari kekayaan, hak, serta kewajiban para pendiri maupun pemiliknya (M. Fuad, et.al., 2000). Jadi sesuai namanya, keterlibatan dan tanggung jawab para pemilik PT hanya terbatas pada saham yang dimiliki.

Perseroan terbatas sendiri juga mempunyai kaitan dengan bursa efek. Kaitannya, jika sebuah perseroan terbatas telah menerbitkan sahamnya untuk publik (go public) di bursa efek, maka perseroan itu dikatakan telah menjadi "perseroan terbatas terbuka" (Tbk).

Fakta Pasar Modal

Pasar modal adalah sebuah tempat di mana modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (pihak investor) dengan orang yang membutuhkan modal (pihak issuer/emiten) untuk mengembangkan investasi. Dalam UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995, pasar modal didefinisikan sebagai "kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek." (Muttaqin, 2003).

Para pelaku pasar modal ini ada 6 (enam) pihak, yaitu :

(1). Emiten, yaitu badan usaha (perseroan terbatas) yang menerbitkan saham untuk menambah modal, atau menerbitkan obligasi untuk mendapatkan utang dari para investor di Bursa Efek.

(2). Perantara Emisi, yang meliputi 3 (tiga) pihak, yaitu : a. Penjamin Emisi (underwriter), yaitu perusahaan perantara yang menjamin penjualan emisi, dalam arti jika saham atau obligasi belum laku, penjamin emisi wajib membeli agar kebutuhan dana yang diperlukan emiten terpenuhi sesuai rencana; b. Akuntan Publik, yaitu pihak yang berfungsi memeriksa kondisi keuangan emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah dikeluarkan oleh emiten wajar atau tidak.c. Perusahaan Penilai (appraisal), yaitu perusahaan yang berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap emiten, apakah nilai aktiva emiten wajar atau tidak.

(3). Badan Pelaksana Pasar Modal, yaitu badan yang mengatur dan mengawasi jalannya pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting) dari lantai bursa dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan pasar modal. Di Indonesia Badan Pelaksana Pasar Modal adalah BAPEPAM (Badan Pengawas dan Pelaksana Pasar Modal) yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Menteri Keuangan.

(4). Bursa Efek, yakni tempat diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal yang didirikan oleh suatu badan usaha. Di Indonesia terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (BES) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.

(5). Perantara Perdagangan Efek. Yaitu makelar (pialang/broker) dan komisioner yang hanya lewat kedua lembaga itulah efek dalam bursa boleh ditransaksikan. Makelar adalah perusahaan pialang (broker) yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan orang lain dengan memperoleh imbalan. Sedang komisioner adalah pihak yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan sendiri atau untuk orang lain dengan memperoleh imbalan.

(6). Investor, adalah pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa efek dengan membeli atau menjual kembali efek tersebut (Junaedi, 1990; Muttaqin, 2003; Syahatah & Fayyadh, 2004).

Dalam pasar modal, proses perdagangan efek (saham dan obligasi) terjadi melalui tahapan pasar perdana (primary market) kemudian pasar sekunder (secondary market). Pasar perdana adalah penjualan perdana saham dan obligasi oleh emiten kepada para investor, yang terjadi pada saat IPO (Initial Public Offering) atau penawaran umum pertama. Kedua pihak yang saling memerlukan ini tidak bertemu secara dalam bursa tetapi melalui pihak perantara seperti dijelaskan di atas. Dari penjualan saham dan efek di pasar perdana inilah, pihak emiten memperoleh dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya.

Sedangkan pasar sekunder adalah pasar yang terjadi sesaat atau setelah pasar perdana berakhir. Maksudnya, setelah saham dan obligasi dibeli investor dari emiten, maka investor tersebut menjual kembali saham dan obligasi kepada investor lainnya, baik dengan tujuan mengambil untung dari kenaikan harga (capital gain) maupun untuk menghindari kerugian (capital loss). Perdagangan di pasar sekunder inilah yang secara reguler terjadi di bursa efek setiap harinya.

Jual Beli Saham dalam Pasar Modal Menurut Islam

Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang terkait dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual beli saham perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut. (Syahatah dan Fayyadh, Bursa Efek : Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal, hal. 18; Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu’ Al-Qadimah wa al-Mu’ashirah wa Al-Burshat al-Mahalliyyah wa Ad-Duwaliyyah, hal. 109).

Namun mereka berbeda pendapat jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal, misalnya di bidang transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya. Syahatah dan Fayyadh berkata,"Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar’i...Dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah semua dalil yang menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut." (Syahatah dan Fayyadh, ibid., hal. 17).

Tapi ada fukaha yang tetap mengharamkan jual beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani (2004), Yusuf as-Sabatin (ibid., hal. 109) dan Ali As-Salus (Mausu'ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu'ashirah, hal. 465). Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau tidak.

Aspek inilah yang nampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar ekonomi Islam saat ini, terbukti mereka tidak menyinggung sama sekali aspek krusial ini. Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi option, transaksi trading on margin, dan sebagainya (Junaedi, 1990; Zuhdi, 1993; Hasan, 1996; Az-Zuhaili, 1996; Al-Mushlih & Ash-Shawi, 2004; Syahatah & Fayyadh, 2004).

Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi (2004) menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musahamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain dikarenakan dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya. Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i. Sangat fatal, bukan?

Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya halal) adalah lebih kuat (rajih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, adalah dalil al-Mashalih Al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (ibid., hal. 53). Padahal menurut Taqiyuddin An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena kehujjahannya tidak dilandaskan pada dalil yang qath’i (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III (Ushul Fiqih), hal. 437)

Kesimpulan

Menjual belikan saham dalam pasar modal hukumnya adalah haram, walau pun bidang usaha perusahaan adalah halal. Maka dari itu, dengan sendirinya keberadaan pasar modal itu sendiri hukumnya juga haram. Hal itu dikarenakan beberapa alasan, utamanya karena bentuk badan usaha berupa PT adalah tidak sah dalam pandangan syariah, karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Wallahu a’lam [ ]

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mushlih, Abdullah & Ash-Shawi, Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam (Maa Laa Yasa'u Al-Taajir Jahlahu), Penerjemah Abu Umar Basyir, (Jakarta : Darul Haq), 2004

An-Nabhani, Taqiyuddin, an-Nizham al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan VI, 2004

As-Sabatin, Yusuf Ahmad Mahmud, Al-Buyu’ Al-Qadimah wa al-Mu’ashirah wa Al-Burshat al-Mahalliyyah wa Ad-Duwaliyyah, (Beirut : Darul Bayariq), 2002

As-Salus, Ali Ahmad, Mausu'ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu'ashirah wa al-Iqtishad al-Islami, (Qatar : Daruts Tsaqafah), 2006

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz IX (Al-Mustadrak), (Damaskus : Darul Fikr), 1996

Fuad, M, et.al., Pengantar Bisnis, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama), 2000

Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), 1996

Junaedi, Pasar Modal Dalam Pandangan Hukum Islam, (Jakarta : Kalam Mulia), 1990

Muttaqin, Hidayatullah, Telaah Kritis Pasar Modal Syariah, http://www.e-syariah.org/jurnal/?p=11, 20 des 2003

Siahaan, Hinsa Pardomuan & Manurung, Adler Haymans, Aktiva Derivatif : Pasar Uang, Pasar Modal, Pasar Komoditi, dan Indeks (Jakarta : Elex Media Komputindo), 2006

Syahatah, Husein & Fayyadh, Athiyah, Bursa Efek : Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal (Adh-Dhawabit Al-Syar'iyah li At-Ta'amul fii Suuq Al-Awraq Al-Maliyah), Penerjemah A. Syakur, (Surabaya : Pustaka Progressif), 2004

Tarban, Khalid Muhammad, Bay'u Al-Dayn Ahkamuhu wa Tathbiquha Al-Mu'ashirah (Al-Azhar : Dar al-Bayan Al-'Arabi; Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyah), 2003

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta : CV Haji Masagung), 1993

"I AM A SECOND WIFE"

Oleh : M. Syamsi Ali *)

Sekitar tiga bulan lalu, the Islamic Forum yang diadakan setiap Sabtu di Islamic Center New York kedatangan peserta baru. Pertama kali memasuki ruangan itu saya sangka wanita Bosnia. Dengan pakaian Muslimah yang sangat rapih, blue eyes, dan kulit putih bersih. Pembawaannya pun sangat pemalu, dan seolah seseorang yang telah lama paham etika Islam.

Huda, demikianlah wanita belia itu memanggil dirinya. Menurutnya, baru saja pindah ke New York dari Michigan ikut suami yang berkebangsaan Yaman. Suaminya bekerja pada sebuah perusahaan mainan anak-anak (toys).

Tak ada menyangka bahwa wanita itu baru masuk Islam sekitar 7 bulan silam. Huda, yang bernama Amerika Bridget Clarkson itu, adalah mantan pekerja biasa sebagai kasir di salah satu tokoh di Michigan. Di toko inilah dia pertama kali mengenal nama Islam dan Muslim.

Biasanya ketika saya menerima murid baru untuk bergabung pada kelas untuk new reverts, saya tanyakan proses masuk Islamnya, menguji tingkatan pemahaman agamanya, dll. Ketika saya tanyakan ke Huda bagaimana proses masuk Islamnya, dia menjawab dengan istilah-istilah yang hampir tidak menunjukkan bahwa dia baru masuk Islam. Kata-kata "alhamdulillah", "Masya Allah" dst, meluncur lancar dari bibirmya.

Dengan berlinang air mata, tanda kebahagiaannya, Huda menceritakan proses dia mengenal Islam. "I was really trapped by jaahiliyah (kejahilan)", mengenang masa lalunya sebagai gadis Amerika. "I did not even finish my High School and got pregnant when I was only 17 years old", katanya dengan suara lirih. Menurutnya lagi, demi mengidupi anaknya sebagai ‘a single mother’ dia harus bekerja. Pekerjaan yang bisa menerima dia hanyalah grocery kecil di pinggiran kota Michigan.

Suatu ketika, toko tempatnya bekerja kedatangan costumer yang spesial. Menurutnya, pria itu sopan dan menunjukkan ‘respek’ kepadanya sebagai kasir. Padahal, biasanya, menurut pengalaman, sebagai wanita muda yang manis, setiap kali melayani pria, pasti digoda atau menerima kata-kata yang tidak pantas. Hingga suatu ketika, dia sendiri berinisiatif bertanya kepada costumer-nya ini, siapa namanya dan tinggal di mana.

Mendengar namanya yang asing, Abdu Tawwab, Huda semakin bingung. Sebab nama ini sendiri belum pernah didengar. Sejak itu pula setiap pria ini datang ke tokonya, pasti disempatkan bertanya lebih jauh kepadanya, seperti kerja di mana, apa tinggal dengan keluarga, dll.

Perkenalannya dengan pria itu ternyata semakin dekat, dan pria itu juga semakin baik kepadanya dengan membawakan apa yang dia sebut ‘reading materials as a gift". Huda mengaku, pria itu memberi berbagai buku-buku kecil (booklets).

Dan hanya dalam masa sekitar tiga bulan ia mempelajari Islam, termasuk berdiskusi dengan pria tersebut. Huda merasa bahwa inilah agama yang akan menyelamatkannya.

"Pria tersebut bersama isterinya, yang ternyata telah mempunyai 4 orang anak, mengantar saya ke Islamic Center terdekat di Michigan. Imam Islamic Center itu menuntun saya menjadi seorang Muslimah, alhamdulillah!" kenang Huda dengan muka yang ceria.

Tapi untuk minggu-minggu selanjutnya, kata Huda, ia tidak komunikasi dengan pria tersebut. Huda mengaku justeru lebih dekat dengan isteri dan anak-anaknya. Kebetulan lagi, anaknya juga berusia tiga tahun, maka sering pulalah mereka bermain bersama. "Saya sendiri belajar shalat, dan ilmu-ilmu dasar mengenai Islam dari Sister Shaima, nama isteri pria yang mengenalkannya pada Islam itu.

Kejamnya Poligami?

Suatu hari, dalam acara The Islamic Forum, minggu lalu, datang seorang tamu dari Bulgaria. Wanita dengan bahasa Inggris seadanya itu mempertanyakan keras tentang konsep poligami dalam Islam. Bahkan sebelum mendapatkan jawaban, perempuan ini sudah menjatuhkan vonis bahwa "Islam tidak menghargai sama sekali kaum wanita", katanya bersemangat.

Huda, yang biasanya duduk diam dan lebih banyak menunduk, tiba-tiba angkat tangan dan meminta untuk berbicara. Saya cukup terkejut. Selama ini, Huda tidak akan pernah menyelah pembicaraan apalagi terlibat dalam sebuah dialog yang serius. Saya hanya biasa berfikir kalau Huda ini sangat terpengaruh oleh etike Timur Tengah, di mana kaum wanita selalu menunduk ketika berpapasan dengan lawan jenis, termasuk dengan gurunya sendiri.

"I am sorry Imam Shamsi", dia memulai. "I am bothered enough with this woman’s accusation," katanya dengan suara agak meninggi. Saya segera menyelah: "What bothers you, sister?". Dia kemudian menjelaskan panjang lebar kisah hidupnya, sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga kemudian hamil di luar nikah, bahkan hingga kini tidak tahu siapa ayah dari anak lelakinya yang kini berumur hampir 4 tahun itu.

Tapi yang sangat mengejutkan saya dan banyak peserta diksuis hari itu adalah ketika mengatakan: "I am a second wife." Bahkan dengan semangat dia menjelaskan, betapa dia jauh lebih bahagia dengan suaminya sekarang ini, walau suaminya itu masih berstatus suami wanita lain dengan 4 anak. "I am happier since then", katanya mantap.

Dia seolah berda’wah kepada wanita Bulgaria tadi: "Don’t you see what happens to the western women around? You are strongly opposing polygamy, which is halaal, while keeping silence to free sex that has destroyed our people," jelasnya. Saya kemudian menyela dan menjelaskan kata "halal" kepada wanita Bulgaria itu.

"I know, people may say, I have a half of my husband. But that’s not true", katanya. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa poligami bukan hanya masalah suami dan isteri. Poligami dan kehidupan keluarga menurutnya, adalah masalah kemasyarakatan. Dan jika seorang isteri rela suaminya beristeri lagi demi kemaslahatan masyarakat, maka itu adalah bagian dari pengorbananya bagi kepentingan masyarakat dan agama.

Kami yang dari tadi mendengarkan penjelasan Huda itu hanya ternganga. Hampir tidak yakin bahwa Huda adalah isteri kedua, dan juga hampir tidak yakin kalau Huda yang pendiam selama ini ternyata memiliki pemahaman agama yang dalam. Saya kemudian bertanya kepada Huda: "So who is your husband?" Dengan tertawa kecil dia menjawab "the person who introduced me to Islam".Dan lebih mengejutkan lagi: "his wife basically suggested us to marry", menutup pembicaraan hari itu.

Diskusi Islamic Forum hari itu kita akhir dengan penuh bisik-bisik. Ada yang setuju, tapi ada pula yang cukup sinis. Yang pasti, satu lagi rahasia terbuka. Saya sendiri hingga hari ini belum pernah ketemu dengan suami Huda karena menurutnya, "he is a shy person. He came to the Center but did not want to talk to you", kata Huda ketika saya menyatakan keinginan untuk ketemu suaminya.

"Huda, may Allah bless you and your family. Be strong, many challenges lay ahead in front of you," nasehatku. Doa kami menyertaimu Huda, semoga dikuatkan dan dimudahkan!

New York, 10 Mei 2006

*) Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com (13/05/2006)

Tahun Depan, Empat Kali Cuti Bersama

Jawa Pos, 17 Juli 2011



JAKARTA – Pemerintah, tampaknya, tak mau dicap terlambat dalam menentukan cuti bersama. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN dan RB) Nomor 7 Tahun 2011, pemerintah menetapkan cuti bersama 2012.

Pada SKB tiga menteri yang ditandatangani Menag Suryadharma Ali, Menakertrans Muhamin Iskandar, serta Men PAN dan RB Evert Ernest (E.E.) Mangindaan itu, terdapat empat kali cuti bersama. Pertama, cuti bersama Kenaikan Yesus Kristus yang jatuh pada Jumat, 18 Mei. Kedua, cuti bersama Idul Fitri 1433 Hijriah pada Selasa-Rabu, 21-22 Agustus.

Ketiga adalah cuti bersama Tahun Baru 1434 Hijriah yang jatuh pada Jumat, 16 November. Yang keempat, cuti bersama hari raya Natal yang jatuh pada Senin, 24 Desember.

Setelah penetapan SKB tersebut Rabu lalu (13/7), Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono menuturkan bahwa cuti bersama yang ditetapkan berdekatan dengan libur nasional bukan tanpa alasan. ’’Tujuan penetapan ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan hari kerja, libur, dan cuti bersama,’’ kata dia.

Agung juga menjelaskan, keputusan cuti bersama tersebut sudah berdasar masukan serta evaluasi dari berbagai lembaga terkait. Dia berpendapat, cuti bersama berkontribusi terhadap peningkatan kunjungan wisatawan domestik. Hal itu bisa menggerakkan perekomonian warga yang berada di sekitar objek wisata.

Di bagian lain, Men PAN dan RB E.E. Mangindaan menjelaskan, dengan adanya aturan cuti bersama tersebut, sebenarnya pemerintah ingin menerapkan disiplin PNS secara lebih ketat. Disiplin PNS itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Menurut dia, adanya cuti bersama bisa mendorong ketertiban pengawai dalam bertugas.

Kebijakan cuti bersama yang ditetapkan jauh-jauh hari itu, menurut Mangindaan, bisa dimanfaatkan seluruh PNS untuk mengatur jadwal berwisata atau agenda liburan lainnya lebih awal. Mangindaan juga mengingatkan, pimpinan instansi penyelenggara pelayanan publik strategis, seperti layanan kesehatan, keamanan, dan pemadam kebakaran, bisa mengatur jatah cuti bersama sehingga tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat. (wan/c4/agm)